Tahrif Al Qur’an Dalam Riwayat-riwayat Ahlusunnah (5)

Sekali lagi kami tegaskan bahwa, keyakinan kami tentang Al Qur’an adalah apa yang kami warisi dari para ulama dan tokoh-tokoh mazhab Syi’ah berdasarkan hadis-hadis shahih dari para imam suci Ahlulbait Nabi saw., yaitu bahwa Al Qur’an adalah terjaga dari perubahan.

Dan ketika menyebut beberapa riwayat yang mengesankan adanya perubahan dalam kitab-kitab standar Ahlusunnah, kami tidak bermaksud menuduh Ahlusunnah meyakini tahrif dalam Al Qur’an seperti yang tertera dalam riwayat-riwayat mereka itu! Hanya saja kami ingin memelekkan sebagian pengacau yang selalu menuduh Syi’ah meyakini tahrif karena adanya riwayat dalam kitab-kitab Syi’ah…. Atau menuduh ulama tertentu meyakini tahrif dikarenakan ia memuat riwayat yang dianggap menunjukkan adanya tahrif. Sementara, riwayat-riwayat seperti itu, atau bahkan lebih parah juga ada dalam kitab-kitab standar yang ditulis oleh ulama besar Ahlusunnah. Jadi kami hanya bermaksud menunjukkan semata! Harap tidak disalah artikan ulasan kami ini.

Setelah Anda ketahui bersama riwayat-riwayat yang menyebut adanya tahrîf yang meninpa Al Qur’an dengan hilangnya ayat-ayat dalam jumlah yang tidak sedikit… mari kita teliti riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa ada ayat-ayat Al Qur’an yang pernah turun kepada Nabi Muhammad dan dihafal serta dibaca para sahabatnya, akan tetapi sekarang tidak terjaring dalam mush-haf umat Islam.

Ayat-ayat yang telah diketahui identitas teksnya namun sekarang lenyap dari mush-haf kaum Muslimin itu sebenarnya dapat kita temukan dalam laporan para sahabat Nabi Muhammad, sehingga apabila kita bermaksud untuk mengembalikannya lagi dalam Al Qur’an, semestinya bisa-bisa saja, walaupun diakui akan ada kesulitan dalam penempatannya, sebab sebagiannya tidak diketahui persis posisinya di mana?

Kami akan awali dengan ayat Rajm.

 
1)      Ayat Rajam

Ayat Rajam adalah ayat yang memuat hukum rajam atas pelaku perzinahan yang telah berusia lanjut, baik ia laki-laki maupun perempuan, baik sudah bersuami/beristri ataupun belum.

Redaksi ayat tersebut seperti yang dilaporkan adalah demikian:

 

الشَّيْخُ و الشيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجَمُوهُمَا البَتَّةَ نَكالاً مِنَ اللهِ و اللهُ عليمٌ حَكِيْمٌ.

Orang laki-laki yang telah tua dan orang perempuan yang telah tua jika keduanya berzina, maka keduanya mutlak harus dirajam, sebagai balasan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.

Redaksi ini telah diyakini kequr’anannya oleh banyak sahabat dan ulama Islam, sebagaimana diriwayatkan dan dishahihkan kebenarannya oleh para ulama itu. Ia telah diabadikan dalam koleksi hadis-hadis riwayat para pembesar ulama Islam seperti Imam Bukhari, Imam Musli, Imam Ahmad Imam Malik daln selain mereka masih banyak lagi.

Khalifah Umar ibn al Khaththab-lah yang peling bersemangat menyelamatkan ayat Al Qur’an dari kepunhan. Laits ibn Sa’ad melaporkan, “Orang pertama yang mengumpulkan Al Qur’an adalah Abu Bakar dengan bantuan Zaid… dan Umar datang membawa ayat rajam tetapi Zaid tidak menulisnya, sebab ia datang sendiri (tanpa seorang saksi).”[1]

Tidak berhenti di sini, Khalifah Umar bersikeras bahwa ayat tersebut adalah bagian dari Al Qur’an yang turun kepada Nabi Muhammad saw.. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., “Ia berkata, ‘Umar  berkata dari atas mimbar, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad dengan kebenaran dan menurunkan kepadanya sebuah kitab. Salah satu ayat yang diturunkan adalah ayat rajam, lalu kami menyadari sepenuhnya. Itulah sebabnya Rasulullah saw. malakukan perajaman, dan setelah beliau wafat kami melakukan hal yang sama. Lalu aku khawatir jika berlalu beberapa masa orang-orang akan mengatakan: ‘Demi Allah, kami tidak menemukan ayat rajam dalam kitab Allah.’ Kemudian dia menjadi sesat dengan tindakannya meninggalkan hukum wajib, farîdah yang diturunkan oleh Allah… Rajam itu ada di Kitabullah, ia adalah haq/wajib diberlakukan atas seorang baik laki-laki maupun wanita yang berzina jika ia telah menikah apabila telah tegak bukti atasnya…. Kemudian kami pernah membaca dalam sebuah ayat yang berbunyi:

 

لاَ تَرْغَبُوا عَنْ آبائِكُمْ فَإِنَهُ كُفْرٌ بكُمْ أنْ تَرْغَبُوا عَنْ آبائِكُمْ .

“Jangan kamu menisbatkan dirimu kepada selain ayah-ayah kandungmu, karena kafirlah apabila kamu menisbatkan kepada selain ayah-ayahmu.”[2]

Syaikhul Islam mengomentari dengan keterangan bahwa ayat rajam itu berbunyi:

 

الشَّيْخُ و الشيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجَمُوهُمَا البَتَّةَ.

Orang yang bersuami dan orang yang beristri jika keduanya berzina, maka keduanya mutlak harus dirajam.

Umar membatalkan mencantumkan ayat rajam dalam Al Qur’an bukan karena ia ragu bahwa ia benar-benar bagian dari Al Qur’an yang turun kepada Nabi Muhammad saw., akan tetapi karena kekhawatirannya akan tuduhan manusia bahwa ia telah menambah-nambah Al Qur’an, sebab orang-orang tidak mengetahui dengan baik kalau ayat itu adalah bagian dari Al Qur’an. Maka demi menjaga diri dari tuduhan itu beliau merelakan untuk tidak memasukkannya.

Dalam beberapa riwayat lain yang melaporkan pidato Khalifah Umar di atas terdapat redaksi tambahan yang mengatakan:

 

وَ ايْمُ اللهِ! لَوْ لا أَنْ يقولَ الناسُ زادَ عُمَرُ في كتابِ اللهِ عزَّ و جَلَّ لَكَتَبْتُها.

“Andai bukan karena takut manusia berkata, ‘Umar menambah dalam Kitab Allah- Azza wa Jalla- pastilah aku tulis ayat itu.” [3]

Imam an Nasa’i juga meriwayatkan dalam kitab as Sunan al Kubrâ-nya dengan sanad shahih dari Abdurrahman ibn ‘Auf, ia berkata, “Umar berpidato, lalu berkata, ‘….. . Mereka juga berkata Rajam? Sungguh Rasulullah saw. telah merajam dan kamipun merajam. Dan Allah telah menurunkan (ayat Rajam) dalam Kitab-Nya.

 

وَ لَوْ لا أَنْ الناسُ يقولُونَ زادَ عُمَرُ في كتابِ اللهِ عزَّ و جَلَّ لَكَتَبْتُهُ بِخَطِّيْ حَتَّى أُلْحِقُهُ بالكتابِ.

“Andai bukan karena manusia mengatakan Umar menambah-nambah dalam Kitab Allah pasti aku telah menulisnya dengan tulisanku sendiri sehingga aku gabungkan dengan Kitabullah.”[4]

Dalam riwayat lain, juga dalam as Sunan al Kubrâ dengan redaksi:

 

لولا أنْ يقولوا أثْبَتَ في كِتابِ اللهِ ما لَيْسَ فِيْهِ لأُثْبِتُها كما أُنزِلَتْ

“Andai bukan karena manusia akan berkata, ‘ia menetapkan dalam Kitab Allah sesuatu yang bukan darinya, pastilah aku akan tetapkan sebagaimana ia diturunkan.”[5]

Dan seperti telah lewat disebutkan bahwa Umar meyakininya termasuk dari ayat Al Qur’an yang hilang bersama kematian Nabi Muhammad saw.

Umar berkata:

 

أَيُّها الناس! لا يَجْزِعَن مِنْ آيَةِ الرَجْمِ، فَإِنَها أيَةٌ نزلَتْ في كتابِ اللهِ و قَرَأْناها، و لَكِنَّها ذَهَبَتْ في قُرْآنٍ كَثِيْرٍ ذهَبَ معَ محَمَّدٍ.

“Hai sekalian manusia! Jangan ada orang yang sedih atas ayat Rajam. Sesungguhnya ia adalah ayat yang diturunkan dalam Kitab Allah, kami semua membacanya, akan tetapi ia hilang bersama banyak ayat Al Qur’an yang hilang bersama (kematian) Muhammad.”[6]

Dari riwayat-riwayat di atas jelaslah bagi kita bahwa Al Qur’an kaum Muslimin yang beredar sekarang ini dalam pandangan Khalifah Umar ibn al Khaththab adalah kurang sebab ayat jaram yang pernah turun kepada Nabi Muhammad tidak lagi tertera di dalamnya. Dan sebenarnya ia sangat bersemangat untuk tetap menyantumkannya dalam Al Qur’an, sebab ai adalah ayat Al Qur’an, dan andai bukan karena takut dari cercaan dan tuduhan manusia bahwa ia menambah dalam Al Qur’an sesuatu yang bukan dari Al Qur’an pastilah beliau telah menyantumkannya dan umat Islam-pun dapat menemukan dan membacanya dalam Mush-haf-mush-haf mereka! Tetapi sayang, Khalifah Umar harus merelakan –walau dengan berat hati- kepergian ayat itu untuk selamanya demi memelihara kemapaman anggapan Umat Islam dewasa itu yang belum menyadari bahwa ia adalah bagian dari firman kudus Tuhan dalam Al Qur’an!   

Riwayat ini membuat repot para ulama Islam, khususnya ucapan Khalifah Umar –sebagai pemimpin tertinggi sepeninggal Nabi Muhammad-:“Andai bukan karena takut manusia berkata, ‘Umar menambah dalam Kitab Allah- Azza wa Jalla- pastilah aku tulis ayat itu.”, As Subki dalam kitab al Ibhâj-nya merasa kebingungan dengan data itu, dan ia mengatakan tidak tau harus memaknainya bagaimana? Sebab ucapan Umar itu artinya, ayat tersebut pada dasarnya boleh dan sah untuk dituliskan dalam Mush-haf dan itu artinya ia boleh dibaca dalam shalat… tetapi, masih kata as Subki, ‘Kami tidak ragu sedikitpun bahwa Umar telah berucap yang benar.”[7] bahwa ayat itu adalah bagian dari Al Qur’an!

 

Nabi Muhammad-lah Yang Tidak Suka Menetapkan Ayat Rajam

Ada sebuah riwayat dalam Musnad Imam Ahmad dengan sanad shahih yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad-lah yang kariha, tidak suka untuk menuliskan ayat Rajam tersebut, sebab sepertinya syari’at tentang hukum rajam tidak tepat.

Dengan sanad bersambung kepada Katsîr ibn Shalt, ia berkata, “… Maka Umar berkata, ‘Ketika ayat tersebut (Rajam) turun, aklu datang menemui Rasulullah saw. dan berkata, ‘Apakah Anda sudi menuliskannya untukku?’ Syu’bah berkata, ‘Sepertinya beliau tidak suka-. Umar berkata, ‘Tidakah Anda memperhatikan bahwa seorang syeikh, tua jika ia belum menikah hanya dikenai hukuman dera saja dan seorang pemuda-pun jika sudah menikah akan dirajam?!’”[8]

Riwayat di atas jelas sekali bahwa menurut Khalifah Umar bahwa ayat itu adalah bagian dari wahyu Al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, hanya saja ketika ia turun, Umar datang dan meminta izin agar menulisnya, akan tetapi Nabi tidak menyukai apabila ayat tersebut ditulis. Lalu Khalifah Umar berkata kepada Zaid bahwa alasan mengapa Nabi tidak suka menuliskan ayat yang bermuatan bahwa Syeikh dan Syeikhah (pria tuda dan wanita tua) jika berzina maka harus dirajam secara mutlak, baik sudah menikah maupun belum, yaitu disebabkan karena dalam Syari’at Islam pelaku zina itu hanya akan dikenai hukum rajam apabila ia telah menikah, baik masih muda ataupun sudah tua bangka! Tua ataupun mudanya usia tidak menjadi tolok ukur menetapan hukum rajam! Sepertinya ayat itu salah sehingga karenanya, Nabi tidak suka apabila ia ditulis. Demikian yang tampak dari riwayat di atas.

Dari seluruh riwayat di atas dan lainnya, maka tampak jelas sekali bahwa ayat tersebut benar-benar telah diyakini Khalifah Umar sebagai bagian dari Al Qur’an, walaupun sekarang tidak dapat ditemukan dalam Al Qur’an. Menyikapi kenyataan ini ada tiga opsi, dan tidak ada opsi keempat:

(1)   Al Qur’an yang sekarang beredar di tangan kaum Muslimin di seluruh dunia ini adalah telah muharraf, mengalami kerusakan dengan hilangnya ayat Rajam,

(2)   Ayat Rajam ini bukan bagian dari Al Qur’an akan tetapi Khalifah Umar menetapkannya sebagai Al Qur’an, dan hal demikian artinya Umar berniat mau menambah-nambah Al Qur’an dan tentunya ini adalah sebuah kakafiran,

(3) Atau kitab Shahih Bukhari –sebagai kitab hadis paling shahihsetelah Al Qur’an yang seluruh hadis di dalamnya adalah shahih- memuat hadis palsu yang menisbatkan kepada Khalifah Umar kebohongan dan kepalsuan.

Untuk menentukan opsi mana yang akan dipilih, itu tergantung kepada ulama Ahlusunnah!

 

Siti Aisyah juga Meyakini Ayat Rajam

Jalaluddin as Suyuthi meriwayatkan dari Siti Aisyah –istri Nabi Muhammad- bahwa ia berkata, “Ayat Rajam dan ayat Radhâ’ah (menyusui orang dewasa sepuluh kali susuan) telah turun. Dahulu ia aku simpan di dalam lembaran yang aku letakkan di bawah ranjangku. Lalu ketika Nabi meninggal, kami tersibukkan dengan kematiannya, maka masuklah seorang kambing lalu memakan kembaran itu.”[9]

 
Ubay ibn Ka’ab Meyakni Ayat Rajam

As Suyuthi juga meriwayatkan dari para ulama dan muhadditsin bahwa Ubay ibn Ka’ab juga meyakini kequr’anan ayat Rajam, seperti juga telah disebutkan ketika membicarakan surah al Ahzâb.[10]

 
Bibi Abu Umamah Juga Meyakni Ayat Rajam

As Suyuthi juga meriwayatkan dari para ulama dan muhadditsin bahwa khâlah/bibi Abu Umamah meyakini kequr’anan ayat rajam, ia berkata, “Rasulullah saw. menghajarkan kepada kami bacaan ayat rajam:

 

الشيخُ و الشيخَةُ فارْجُمُوهُما البتَةَ بِما قَضَيَا مِنَ اللَّذَّةِ.

Syaikh dan syeikhah rajamlah keduanya karena mereka berdua telah merasakan kelezatan (berzina).[11]

Maka dari penelusuran sederhana di atas dapat disimpulkan bahwa sekelompok sahabat Nabi Muhammad telah menegaskan kequr’anan ayat rajan dan Nabi telah mengajarkan kepada mereka bacaan ayat tersebut. Mereka antara lain adalah:

1.                  Khalifah Umar ibn al Khaththab (pemimpin tertinggi umat Islam, pengganti Nabi setelah Abu Bakar).

2.                  Siti Aisyah (istri Nabi yang paling diandalkan dalam ilmu agama).

3.                  Ubay ibn Ka’ab (sahabat paling diandalkan Nabi untuk mentranfre ayat-ayat Al Qur’an kepada para sahabat lain).

4.                  Bibi Abu Umamah ibn Sahl.

Bahkan jelas dari riwayat siti Aisyah di atas bahwa hilangnya ayat Rajam bersamaan dengan wafatnya Nabi.

Hadis-hadis yang memuat penegasan mereka telah diriwayatkan oleh banyak ulama seperti telah disinggung.

Sekali lagi, apa tanggapan ulama tentang riwayat-riwayat keyakinan Umar  dan sekelompok sahabat lain tentang kequr’anan ayat Rajam itu?


[1] Al Itqân,1/121.

[2] Shahih Bukhari, Kitabul Muhâribîn, Bab Rajmul Hublâ idza ahshanat (merajam orang yang hamil yang berzina jika ia telah menikah),8/208, Shahih Muslim,Kitabul Hudûd, Bab rajmu ats Tsayyib min az Zinâ (merajam janda apabila berzina), 5/116.

[3] Nushbu ar Râyah; az Zaila’I al Hanafi,3/318.

[4] As Sunan al Kubrâ,4/272 hadis no.7151.

[5] Ibid.273 hadis no.7154.

[6] Mushannaf; ash Shan’âni,7/345, hadis no.13329.

[7] Al Ibhâj Fi Syarhi al Minhâj,2/242.

[8] Musnad Ahmad,5/183 hadis no.21636 dan Sunan al Baihaqi,8/211.

[9] Sunan Ibnu Mâjah,1/625 hadis no.1944. cet. Dâr Ihyâ’ at Turâts al Arabi.

[10] Al Itqân,2/32.

[11] Ibid.

6 Tanggapan

  1. halo.. maaf ni, usulan.. bagaimana kalo hurufnya agak diperbesar sedikit.. agak lebih nyaman mbacanya..

    salamhangat.

    ____________
    -Ibnu Jakfari-

    Salam hangat juga bangzenk!
    Insyaallah, akan kami usahakan agar Anda nyaman di Kedai Pencerahan kami ini. Jangan lupa komentarnya.

  2. Dari tulisan 1-5 saya kok tidak melihat mereka yang doyan menfitnah syiah membela diri dari bukti-bukti yang diajukan Ibnu Jakfari!!!! ada apa ya ini semua? Pasti lagi kebingungan! Datang aja ke kyai2 kamu minta keterangan…. apa maunya riwayat-riwayat itu? Tahrif? Tahruf? tahraf? apa? ayo jawab! tanya ke kyai bashori alwi si pakar alqur’anQ tanya cak nawawi si kyai kondang yang pandai baca kitab kuning muda sampai kuning tua… bahkan kitab gundul n kitab gondrong kaya GOGON!!!!
    Ayo jawab! ini lho anak-anak syiah mulai angkat bicara. hati-hati nanti dibongkar semua lho kedok dan rahasia kalian!

  3. @Ibnu Jefri
    Jangan terlalu berharap ada tanggapan dari para Wahabi. Karena biasanya tanggapan mereka tidak dimuat oleh yg punya blog. Hal ini terjadi juga di blog ini http://qitori.wordpress.com
    Jadi silakan tulis sendiri, bahas sendiri, puji sendiri aja…
    Hidup Syiah…Al Kadzab…

  4. @Ali
    Ali..Ali Onchom? He..he..he..wajar saja kalo saya tidak pernah
    meladeni komentar ente, wong gak nyambung (kontekstual)
    gimana mau memasukkan komentar ente…Wahabi Idiot…

  5. […] Khalifah Umar ibn al Khaththab-lah yang peling bersemangat menyelamatkan ayat Al Qur’an dari kepunhan. Laits ibn Sa’ad melaporkan, “Orang pertama yang mengumpulkan Al Qur’an adalah Abu Bakar dengan bantuan Zaid… dan Umar datang membawa ayat rajam tetapi Zaid tidak menulisnya, sebab ia datang sendiri (tanpa seorang saksi).”[1] […]

Tinggalkan Balasan ke ibnu jefri Batalkan balasan